Pengamat Politik Undip: Perpecahan PPP Jadi Batu Berat Menuju Pemilu 2029
SEMARANG – Pengamat politik Undip Semarang, Dr. Wahid Abdulrahman menilai, Muktamar ke-10 tahun 2025, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menghasilkan repetisi sejarah, konflik yang kembali berulang. Dua Kubu (Mardiyono dan Agus Suparmanto) masing-masing mengklaim sebagai Ketua Umum terpilih dalam Muktamar.
“Apabila PPP tidak ingin repetisi sejarah kegagalan masuk parlemen terulang, maka konflik tersebut harus segera diakhiri. Dalam kondisi normal/tanpa konflik saja tantangan PPP di 2029 akan berat, apalagi dengan kondisi konflik yang belum mampu diselesaikan. Dengan konflik, potensi PPP gagal di 2029 akan semakin besar,”kata Wahid, yang juga pengajar Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIP Undip, di Semarang, Senin 29 September 2025.
Alumni doktor ilmu politik Southeast Asian Studies Goethe University Frankfurt Germany, itu menjelaskan, salah satu ciri dari partai modern adalah kemampuan kelembagaan dalam menyelesaikan konflik internal.
“Mekanisme, struktur kelembagaan, dan budaya internal partai dalam menyelesaikan konflik sangat menentukan. Bagi PPP, penyelesaikan konflik semestinya bisa berjalan cepat, ketika Islam mememberikan panduan nilai moral dan eksistensi ulama sebagai tokoh sentral di partai,”imbuhnya.
Wahid juga berpesan, konsep ukhuwah, musyawarah, dan Islah sebagai nilai moral politik Islam semestinya mampu diterjemahkan oleh kedua kubu. Berikutnya adalah peran kiai/ulama yang memiliki posisi strategis di PPP. Hal ini tidak lepas dari budaya santri yang cukup mengakar di PPP. Ketaatan santri terhadap kiai dalam berbagai bidang termasuk pandangan dan tindakan politik, bisa dijadikan amunisi menyelesaikan konflik.
“Dengan konflik yang semakin terbuka dan meruncing, maka keterlibatan para kiai untuk menyelesaikan konflik tersebut semakin mendesak. Power sharing diantara kedua kubu bisa menjadi salah satu solusi pragmatis untuk penyelesaikan konflik dengan cepat. Dengan adanya dua kubu, tantangan PPP untuk kembali ke parlemen 2029 cukup berat,” ucap Wahid.
Sekretaris TPPD (Tim Percepatan Pembangunan Daerah) Jawa Tengah itu menyarankan, sebagai partai yang tidak lolos parlemen, konsolidasi internal mulai dari pusat-wilayah-cabang-hingga tingkat desa menjadi sangat mendesak bagi PPP. Kerja elektoral partai non parlemen harus dilakukan lebih dini. Paska konsolidasi internal kemudian merawat basis elektoral menjadi pekerjaan rumah selanjutnya.
PPP, katanya, masih diuntungkan dengan keberadaan tradisi dan ritual keagamaan yang mampu berperan sebagai media konsolidasi kader ditingkat akar rumput. Juga diuntungkan masih adanya jumlah anggota DPRD Kabupaten dan Provinsi yang masih cukup banyak.
“Inovasi lain yang kemudian akan menentukan keberhasilan PPP adalah kemampuan merespon perubahan demografis pemilih, perkembangan media, dan perilaku pemilih,” tutupnya.
Asal tahu, Muktamar PPP di Ancol 27-29 September 2025, menghasikkan dua kubu yang saling klaim. Kubu Mardiono (mantan Plt Ketum) mengklaim Mardiono terpilih aklamasi sebagai Ketua Umum oleh 28 DPW. Kubu perubahan juga mengklaim Agus Suparmanto terpilih aklamasi oleh 30 DPW. Mereka akan berpacu mendaftarkan hasil ke Kumham. Siapapun yang direstui akan menghasilkan konflik yang tidak mudah untuk disatukan.*