Dampak Psikologi Akibat Perkawinan Usia Anak
PERKAWINAN usia anak menjadi masalah yang terjadi di banyak negara termasuk Indonesia. Kondisi ini biasanya terjadi karena faktor sosio-ekonomi, yaitu anak menjadi `penyelamat’ demi menjaga finansial keluarga. Perkawinan usia anak juga bisa terjadi karena tradisi dan budaya, seperti menikah setelah mendapat haid pertama atau stigma terlambat menikah setelah masa pubertas sebagai aib keluarga.
Perkawinan terkadang dianggap sebagai institusi sosial yang legal untuk melakukan relasi seksual. Akibatnya, perkawinan pada usia anak menjadi nyaris tak terkendali, padahal perkawinan pada usia anak merupakan masalah yang sangat serius karena mengandung berbagai risiko dari berbagai aspek, seperti kesehatan, psikologi, dan sosiologi.
Adapun usia pernikahan wajar menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Sehingga mereka yang melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun adalah pernikahan tidak wajar karena usia belum matang, organ intim dan reproduksi sedang berkembang serta mental yang masih belum stabil.
Menyambut peringatan Hari Anak Universal 2018, Sequis mengajak masyarakat untuk berperan meningkatkan kesadaran akan bahaya perkawinan usia anak karena anak berhak mewujudkan hari esoknya yang lebih baik dan berkesempatan untuk berkontribusi bagi bangsa.
Vice President of Life Operation Division Sequis Eko Sumurat mengatakan, salah satu upaya untuk mendukung pembangunan Indonesia adalah mencegah terjadinya perkawinan usia anak. “Perlu menunda hubungan seksual hingga umur, biologis, dan, mental menjadi dewasa serta finansial yang memadai karena perkawinan usia anak tidak memberikan dampak positif pada siapapun dan hanya menambah beban sosial dan ekonomi bagi keluarga, dan bagi bangsa,” ujarnya, Selasa (20/11).
Jika perkawinan usia anak tidak segera dihentikan, dampaknya akan semakin kompleks yaitu dampak kemanusiaan, kesehatan, ekonomi, dan masih banyak lagi. “Anak-anak Indonesia akan menjadi generasi penerus bangsa, jika mereka tumbuh dengan kesehatan yang tidak layak, cacat genetik, emosi yang tidak stabil serta pendidikan yang tidak berkualitas maka beban yang kita tanggung di masa depan akan lebih tinggi,” tambah Eko.
Dampak Perkawinan Usia Anak Pada Ibu dan Anak
“Secara psikologi, perkawinan usia anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri, emosi tidak berkembang dengan matang. Kepribadiannya cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri. Hal ini karena si anak belum siap untukmenjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi Ibu atau orang tua,” ujar dokter Spesialis JiwaOMNI Hospitals Pulomas Jakarta dr. Jimmi MP Aritonang, Sp.KJ
Tambahan pula, perkawinan anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti tidak berani mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori. “Dominasi pasangan rentan menyebabkan terjadinya ketidakadilan, kekerasan rumah tangga serta terjadi perceraian. Di sisi lain, tuntutan bersosialisasi dalam masyarakat atau menghadapi pandangan masyarakat akan membuat si anak merasa tertekan dan cenderung menutup diridari aktivitas sosial. Hal ini dapat menyebabkan produktivitas menurun dan sedikit peluang untuk melanjutkan pendidikan,” ujar dr Jimmi.
Selain itu, perkawinan usia anak, remaja perempuan yang hamil dan melahirkan rawan mengalami gangguan mental pasca melahirkan, seperti depresi setelah melahirkan (baby blue syndrome) yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurangnya bantuan ketika melahirkan.
Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Health Claim Senior Manager Sequis dr. Yosef Fransiscus. Ia mengatakan bahwa anak secara fisik belum matang untuk melakukan hubungan seksual, mengalami hamil, dan melahirkan.
“Perkawinan usia anak, rentan terjadi dominasi oleh pasangan yang lebih tua.Sehingga kemungkinan pasangan yang lebih muda tidak berani untuk meminta hubungan seks dengan alat pengendali kehamilan agar tidak hamil di usia muda, padahal hubungan seksual yang dilakukan di usia dini, secaraterpaksa, dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan memicukemungkinan kerusakan organ intim. Efek lainnya adalah hilangnya kemampuan orgasme dan kemampuan ovulasi/hamil di jangka panjang, “ ujar Yosef.
Gangguan mental dan kesehatan ibu hamil ternyata berdampak juga pada anak yang dilahirkan. “Pada anak yang dilahirkan, rawan terjadi gangguan mental seperti down syndrome serta berisiko mendapatkan berbagai masalah kesehatan, emosional, dan sosial jika dibandingkan mereka yang lahir dari pernikahan usia matang dan bahagia,” kata dr Jimmi. Sedangkan gangguan pada kesehatan, misalnya terjadi cacat lahir. “Akibat tulang belakang bayi yang gagal berkembang, terbentuk celah atau defek pada tulang belakang dan saraf tulang belakang (spina bifida),” tambah dr Yosef.
Kesulitan anak perempuan dari pasangan perkawinan usia anak tidak hanya dirasakan pada saat hamil dan melahirkan, tetapi juga saat membesarkan anak. Akibat keterbatasan finansial dan mobilitas serta keterbatasan berpendapat seringkali membuat anak perempuan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengasuh bayinya termasuk juga ketidaksiapan emosional orang tua karena memiliki anak. Akibatnya, dapat terjadi risiko penelantaran bayi atau pengasuhan yang tidak tepat.
Jika ini terjadi maka pada perkembangan lanjutannya, anak dapat mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di usia dini.
Perlindungan Asuransi Jiwa, Kesehatan, dan Asuransi Pendidikan
Anak belum mampu berpikir secara rasional dan belum mampu menghadapi risiko atas pilihannya atau pada pilihan yang dipaksakan padanya. Sehingga dalam masa pertumbuhan, mereka tidak saja memerlukan gizi yang baik, tetapi juga perlu dibekali pengetahuan.
“Kita perlu memperlengkapi generasi muda Indonesia dengan pengetahuan reproduksi dan literasi keuangan agar mereka tidak terjerumus dalam berbagai persoalan yang menurunkan kualitas hidup,” imbuh Eko.
Menurut Eko, Sequis terus mendorong masyarakat Indonesia untuk memperlengkapi keluarga dengan perlindungan asuransi karena ada banyak risiko yang tak terduga dapat terjadi kapan saja.
“Kita ingin agar hari esok anak Indonesia yang lebih baik dapat tercapai. Untuk itu, selain menjaga kesehatan ibu dan anak,perlu juga memperlengkapi keluarga dengan perlindungan asuransi jiwa dan kesehatan serta menyediakan asuransi pendidikan sebagai bekal anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas,” ujarnya.
Mengingat pendidikan berkualitas membutuhkan biaya yang tinggi dan berkesinambungan, Sequis menyediakan dua produk asuransi pendidikan unggulan yang bisa menjadi pilihan untuk menyiapkan dana pendidikan anak Anda, yaitu Sequis Edu Plan Insurance dan Sequis Global EduPlan Insurance.
Keunggulan kedua produk iniadalah fleksibilitas masa pertanggungan asuransi dan Uang Pertanggungan sesuai planyang dipilih serta adanya nilai tunai yang terbentuk dalam masa perlindungan yang dapat digunakan sebagai dana pendidikan.
Selain itu, apabila tertanggung meninggal dunia, manfaat dana pendidikan tetap dibayarkan sampai masa pertanggungan asuransi berakhir. Produk asuransi ini bisa digabungkan dengan beragam pilihan asuransi tambahan (rider) sesuai kebutuhan. (ZP/07)