SBM ITB: Potensi Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia Pasca-Merger Bank Syariah Capai Double Digit
BANDUNG – Selama masa pandemi Covid-19, pertumbuhan bank Syariah di Indonesia mencapai 10.3% dan mengalahkan bank konvensional yang hanya 5.5%. Di sisi lain, sejak tiga bank syariah dimerger menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI), nilai asset mencapai modal Rp 20 triliun dan mencapai buku 4.
Hal itu disampaikan Direktur CIBF SBM ITB Oktofa Yudha Sudrajad, Ph.D dalam seminar daring yang diadakan Center for Islamic Business and Finance Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (CIBF SBM ITB), Selasa sore (4/5/2021). Selain Oktofa, acara tersebut diisi oleh Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Banjaran Surya Indrastomo, Ph.D serta dipandu oleh Atika Irawan, M.Sc sebagai moderator.
Menurut Oktofa Yudha “diskusi tentang Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia Pasca Merger Bank Syariah diangkat berdasarkan mergernya tiga bank Syariah besar di Indonesia pada Februari 2021 lalu, yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI)”.
Banjaran Surya Indrastomo menjelaskan bahwa, “Chief Economist dibentuk karena BSI sebagai lembaga keuangan yang berdampak sistemik tidak terlepas dari isu-isu strategis nasional selain juga berfungsi sebagai tim peneliti terkait keuangan Syariah”. Dalam talkshow ini pun dibahas bahwa selama masa pandemic Covid-19 tahun 2020, pertumbuhan aset Bank Syariah di Indonesia mencapai 13.1% mengalahkan bank konvensional yang hanya 5.5% dan khusus untuk BSI sendiri mencatatkan pertumbuhan hingga 16.7%.
Oktofa Yudha menunjukkan bahwa BSI ini akan segera naik kelas, dimana saat ini sebagai bank Buku III dengan modal inti 22.6T diyakini akan menjadi bank Buku IV dengan minimal modal inti 30 T tidak lama lagi. Posisi ini akan menjadi competitive advantage tersendiri bagi BSI. Tantangan BSI saat ini adalah masalah konsolidasi internal pasca merger dan tekanan eksternal karena Pandemi Covid-19. Apabila mampu melewati tantangan mikro dan makro tersebut, BSI tentunya lebih mudah melakukan akselerasi pertumbuhan.
“2020 kemarin ada 14 Bank Umum Syariah (BUS) dan dengan merger tiga bank, menjadi 12 dan lebih terkonsentrasi. Disamping itu terdapat 20 Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia. Total aset perbankan syariah per Desember 2020 sekitar 6,5% terhadap perbankan nasional, dimana 40% market share dimiliki oleh BSI yang menjadikan BSI bank terbesar ke 7 secara aset,” Ungkap Oktofa.
Oktofa Yudha menambahkan, bahwa perbankan Syariah di pasar global saat ini semakin menarik karena banyak negara yang berlomba meningkatkan performa bank Syariah. Keunggulan Bank Syariah adalah adanya sistem bagi hasil dan bagi risiko, dimana dapat kita lihat di masa krisis saat ini model tersebut terbukti membawa kemanfaatan baik untuk Bank maupun untuk nasabah.
Banjaran pun menuturkan, bahwa BSI sebagai etalase keuangan Syariah di Indonesia menawarkan rate yang jauh lebih kompetitif. Berbagai produk ditawarkan mulai dari KPR, tabungan haji/umroh hingga tabungan emas yang menjadi produk unggulan BSI.
BSI pun turut berkontribusi dalam kemajuan UMKM dengan berupaya untuk membuat ekosistem yang terintegrasi dan mengajak BUMN untuk mendukung UMKM dalam hal value chain nya.
Talkshow ditutup dengan pandangan Oktofa bahwa untuk mengembangkan keuangan syariah tidak bisa dipisahkan dengan entitas lain dalam sektor industri halal. Perlu adanya integrasi antara sektor keuangan syariah (keuangan) dan sektor bisnis (industri halal) dalam konsep ekosistem industri halal sehingga pertumbuhan keuangan syariah bisa terakselerasi dan bisnis syariah semakin membawa manfaat untuk umat.
Kegiatan ini diselenggarakan secara daring, gratis dan terbuka untuk umum yang disaksikan melalui kanal youtube SBM ITB. Sebelumnya CIBF aktif menyelenggarakan seminar rutin dengan berbagai tema yang berkaitan dengan bisnis dan keuangan Syariah. (zav)