Indonesia Masih Kekurangan Pakar Hukum Internasional Bidang Laut dan Perbatasan Negara

SEMARANG – Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Yos Johan menilai, Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau terluar dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, bahkan Australia masih kekurangan pakar hukum internasional dibidang laut dan batas antar negara. Padahal, masalah batas laut, merupakan pemasalahan yang kompleks.
Menurutnya, pekar hukum internasinal dalam bidang batas laut atau maritim sangat penting bagi kedaulatan bangsa dan negara. Apalagi Indonesia sebagai negara kepulauan, seharusnya memiliki juru runding handal agar batas laut antar negara tidak menjadi sengketa.
“Adanya pakar hukum ini sangat penting, kelemahan kita disitu, sedikit sekali pakar hukum internasional yang mau mendalami hukum laut atau masalah kemaritiman. Saat Indonesia ngga ada lebih dari 5 orang,” katanya disela persiapan Pengukuhan Gubes Prof Eddy Pratomo, di Gedung Widya Puraya, Jumat (8/3/19).
Ia mencontohkan, banyak negara kecil tetap berdaulat karena melek terhadap batas maritim negaranya. Jika terjadi suatu masalah tentang batas laut, negara tersebut siap untuk mempertahankan dengan membawanya ke persidangan interonasional sebagai langkah penyelesaian.
“Mahasiswa banyak yang memilih lari ke hukum pidana dan perdata, untuk hukum internasional ada tapi jarang, apalagi yang khusus membidangi keluatan,” tuturnya.
Sementara itu, ahli hukum internasional dibidang kemaritiman atau kelautan, Prof. Eddy Pratomo mencontohkan pulau Sipadan dan Ligitan yang lepas dari Indonesai pada tahun 2002 lalu setelah diputuskan oleh mahkamah internasional.
“Peta Indonesia tahun 1960 atau pada deklarasi Juanda nama dua pulau ini tidak ada sebagai milik Indonesia. Alhasil bisa dimiliki Malaysia karena Inggris pernah kesana pada tahun 1917,” ucapnya.
Sampai saat ini, permasalahan batas laut dengan negara tetangga pun belum bisa terselesaikan. Pada tahun 2015 lalu, Eddy secara langsdung diutus presiden Joko Widodo untuk menjadi Utusan Khusus/Special Envoy Presiden untuk Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia dan Malaysia guna mempercepat penyelesaian penetapan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia.
“Sejauh ini, Indonesia dan Malaysia masih perlu menyelesaikan batas maritim di 5 (lima) segmen, yakni di Laut Sulawesi, Laut Tiongkok Selatan, Selat Singapura bagian Timur, Selat Malaka bagian Selatan, dan Selat Malaka,” beber Eddy.
Wilayah Sulawesi sendiri menurut Eddy adalah wilayah yang paling mendesak untuk segera diselesaikan dan segera ditatapkan batas maritim antar kedua negara. Apalagi banyak potensi yang dimiliki oleh laut Indonesia yang sewaktu-waktu bisa dicuri negara tetangga.
“Asal tahu saja, potensi migas disana sangat besar sehingga perlu untuk dikebut penyelesaiannya,” tegasnya.
Dalam paparannya setelah dikukuhkan menjadi guru besar bidang Ilmu Hukum oleh Universitas Diponegoro, Eddy mengaku jika akan menularkan formula bagi calon penerus hukum internasional kemaritiman, dengan membuat Pratomo Formula 5.10 yang merupakan prinsip dasar dan pedoman aksi yang dilakukan untuk menentukan batas wilayah sebuah negara.
“Kedepan juga akan dilakukan kegiatan yang mengarah kepada pembetukan pusat studi dibidang hukum laut dan pengembangan maritim di Undip dan akan di linkkan ke pemerintah pusat dan kampus lainnya. Apalagi saat ini tantangan tentang batas negara semakin kompleks,” pungkasnya. (ZP/05)