Ini 9 Sikap Aliansi Mahasiswa se-Malaysia Terkait Revisi UU KPK

KUALA LUMPUR – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia se-Malaysia mengadakan pertemuan khusus membahas berbagai dinamika dan isu sosial yang tengah terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Beberapa perwakilan persatuan pelajar seperti Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia, Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Malaysia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Malaysia, dan Komunitas Penalaran Archipelvcky turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Gerakan intelektual yang dikoordinatori oleh Muhammad Rajiv Syarif ini berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia pada Senin, 30 September, pukul 16.00 waktu setempat.
Mengusung tema INDONESIA MEMANGGIL, acara ini berfokus terhadap penolakan Revisi Undang-undang KPK Nomor 30 tahun 2002 yang dianggap berpotensi untuk mempersulit kinerja KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Diyakini bahwa revisi undang-undang KPK akan membawa kepada berbagai polemik, seperti terancamnya independensi KPK, mekanisme penyadapan yang dipersulit dan dibatasi, maupun pembentukan dewan pengawas yang dipilih berdasarkan persetujuan DPR.
“Tujuan utama kami adalah menerbitkan surat pernyataan sikap terhadap segala upaya yang disusun secara terencana untuk melemahkan KPK dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga anti korupsi di Indonesia,” kata Rajiv, Selasa (1/10/19).
Melalui diskusi terbatas dengan berbagai elemen mahasiswa yang hadir, Aliansi Pelajar Indonesia se-Malaysia merumuskan beberapa poin pernyataan sikap, di antaranya :
1. Menolak adanya garis hierarki yang menghubungkan institusi KPK dengan Lembaga eksekutif negara
2. Menolak pengangkatan dewan pengawas yang berpotensi untuk melemahkan kinerja pemberantasan korupsi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 12 B, 12 C, 21 ayat 1 huruf (a), pasal 37 A, pasal 37 B ayat 1 huruf (b), pasal 37 D, pasal 37 E ayat 1 dan 2 dan pasal 37 F ayat 4 Revisi UU KPK
3. Menolak peraturan tentang kewenangan supervisi yang diatur dalam Peraturan Presiden sebagaimana yang dimuat dalam pasal 10 ayat 2, dimana kewenangan supervisi KPK seharusnya bersifat antar Lembaga negara, yaitu antara KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, sehingga harus diatur dalam undang-undang
4. Mendesak Pemerintah, atau dalam hal ini Presiden Republik Indonesia untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk membatalkan Revisi Undang-undang KPK yang telah disahkan
5. Mendukung segala upaya Judicial Review atau peninjauan kembali terhadap Revisi Undang-undang KPK yang telah disahkan
6. Menekankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar senantiasa melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam merumuskan undang-undang
7. Menolak hasil seleksi calon pimpinan KPK karena dinilai telah menyalahi prosedur dan mengandung pelanggaran kode etik
8. Menekankan pengkajian ulang terhadap mekanisme seleksi calon pimpinan KPK agar kedepannya lebih inklusif, proporsional, dan terlepas dari pelanggaran kode etik, dari pembentukan Panitia Seleksi (pansel) sampai kepada pemilihan pimpinan
9. Menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera menuntaskan amanat reformasi, khususnya yang berkaitan dengan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Rajiv menambahkan, forum ini dapat menjadi wadah terbaik bagi para diaspora muda Indonesia di Malaysia dalam memberikan sumbangsi gagasan terbaik dalam menyelesaikan permasalahan yang tengah terjadi di tanah air.
Diharapkan, pertemuan ini dapat melahirkan berbagai rekomendasi ril terkait pemerkasaan upaya pemberantasan korupsi maupun penguatan KPK secara institusi. Rekomendasi tersebut selanjutnya akan disampaikan baik kepada pemerintah, maupun kepada Dewan Perwakilan Rakyat agar dapat dijadikan pertimbangan dalam perancangan revisi undang-undang KPK di periode selanjutnya.
Selain itu, gerakan mahasiswa ini juga berharap agar Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan segala permasalahan sosial yang sedang terjadi seperti tindakan represif apparat terhadap mahasiswa dan masyarakat sipil, juga kerusuhan Papua serta berbagai isu rasial lainnya.
Dalam hal, Presiden Republik Indonesia harus menyegerakan proses rekonsiliasi konflik secara terbuka dengan pendekatan sipil, dan menghentikan pendekatan bersenjata dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia. (ZP/07)