Jateng Belum Ajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
SEMARANG – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membeberkan pihaknya masih belum mengajukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pihaknya masih melakukan penghitungan secara detail.
Menurutnya, saat ini pihaknya sedang menghitung secara teknis data kuantitatifnya. Namun begitu, sejumlah upaya pembatasan fisik sudah dilakukan sejak beberapa minggu lalu.
“Karena di dalam PSBB kan produk akhirnya sekolah tidak berjalan, dalam arti sekolahnya pindah ke rumah, sudah kita lakukan. Tidak usah berkantor, 70 persen sudah kita lakukan. Pembatasan transportasi, KA, sudah berkurang, bus sudah berkurang. Hampir rata-rata semuanya sudah. Maka sekarang kita lagi menghitung secara detail angkanya agar kita punya aturan turunan,” kata Ganjar di halaman Kantor Gubernur, Senin (6/4/20).
Ditambahkan, dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) memang tidak ada aturan kuantitatifnya. Praktis hanya ukurannya kualitatif saja. Maka seandainya terjadi peningkatan seperti mereka yang mengalami kesakitan, atau seandainya terjadi persebaran, maka yang jadi pertanyaan, kata ‘seandainya’ itu berapa.
“Apakah levelnya desa, apakah levelnya kecamatan, atau kabupaten kota, atau level provinsi. Maka kita menyiapkan terus,” imbuh mantan anggota DPR RI ini.
Saat ini, lanjut Ganjar, pihaknya terus mengendalikan kondisi yang terjadi di masyarakat, termasuk agar mereka tetap tidak mudik dan pakai masker.
Untuk menekan dampak ekonomi, dia berharap pabrik yang masih bisa berproduksi agar tidak libur. Seperti, sektor konveksi yang bisa alih mode dengan menjahit lainnya, misalnya menjahit APD, dan lainnya. Namun, mesti diatur waktu kerja, shift, posisi karyawan yang mesti berjarak, hingga penggunaan masker.
“Kalau dulu berhimpitan duduknya, kini jaraknya direnggangkan, agar bisa menghindari adanya peluang terjadi penularan, termasuk sering cuci tangan dan cek kesehatan,” jelasnya.
Ganjar juga menuturkan sejauh ini di Jateng juga belum ada klaster penyebaran virus. Yang ada, dari sejumlah penderita Covid-19 asal Jateng, klasternya paling banyak dari Jakarta, luar negeri, dan Bogor (Jabar) waktu itu. Kendati begitu, dia menekankan agar seluruh pemudik menjalani isolasi.
“Nggak boleh enggan. Ini wajib hukumnya. Model isolasinya memang tidak bisa seragam,” ucapnya.
Dia menceritakan pengalamannya bertemu TKI yang pulang ke di Desa Jungsemi, Kecamatan Kangkung Kabupaten Kendal. TKI bernama Sakur (35) dan Anas Muhidin (24) itu mengisolasi diri di rumah dan terpisah dengan anak istrinya selama masa karantina.
“Di Kendal kemarin dia itu tidak bisa ketemu keluarganya, makanya kesadaran ini yang mesti dibangun. Jadi tidak boleh tidak, jadi mau model isolasi seperti apa, idealnya memang setiap desa boleh sediakan. Jika tidak memungkinkan, isolasi di rumah,” tegasnya.
Gubernur mempersilakan jika ada yang ingin menjalani isolasi di rumah. Namun, dia harus terus memakai masker, menjalani pengecekan kesehatan oleh bidan desa atau dokter puskesmas, maupun pengawasan oleh Ketua RT. Sehingga pergerakannya dibatasi.
“Idealnya, memang setiap desa, atau kabupaten dan kota menyediakan tempat isolasi. Tapi ketika tidak, maka kemungkinan adalah isolasi di rumah,” tutupnya. (ZP/07)