Kanjuruhan, Antara Duka dan Doa Harapan Masa Depan Sepakbola

0
Tragedi Kanjuruhan Malang menyisakan kepedihan mendalam. (foto:ist)

MALANG, ZONAPASAR.COM – Tragedi Kanjuruhan Malang menjadi penanda kelamnya sepakbola Indonesia dan dunia. Tragedi kemanusian yang merenggut ratusan nyawa itu bakal menjadi sejarah menyedihkan yang akan terus menjadi kenangan yang menyedihkan dan memprihatinkan.

Banyak yang merasa bersalah, ada juga yang tidak mau disalahkan, ada yang peduli, ada yang berempati, ada yang tahu diri, dan masih banyak lagi. Diantara hiruk pikuk tragedi ini, kini muncul agenda merobohkan atau meruntuhkan Stadion Kanjuruhan.

Sebagai penulis, wartawan, dan pemerhati sepakbola, saya menyempatkan datang ke Stadion Kanjuruhan yang berada di Kepanjen Kabupaten Malang. Berikut goresan catatan yang didapatkan.

Selamat Sore Kanjuruhan……..

Sudah hampir tiga pekan tragedi kemanusiaan yang merenggut nyawa ratusan orang, tepatnya 1 Oktober 2022 di Stadion Kanjuruhan Kepanjen Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Namun nuansa duka yang begitu mendalam masih sangat terasa saat saya menginjakkan kaki di stadion yang menjadi saksi bisu ganasnya gas air mata.

Ditemani anak muda Aremania, saya mencermati dan merasakan setiap kata demi kata yang diutarakannya sepanjang perjalanan dari Kota Batu menuju Kanjuruhan Kabupaten Malang. Atribut-atribut kepedihan dan duka yang terpasang di berbagai titik jalan seperti menjadi pengantar saya untuk masuk ke lubang semakin dalam kepedihan dan kepiluan yang dirasakan korban, keluarga korban, dan aremania yang selamat dari hari yang kelam bagi semuanya.

Bersama Aremania yang menjadi saksi dan korban selamat Tragedi Kanjuruhan. (foto:ist)

Namanya Alif, Aremania yang sudah menonton Arema FC sejak masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). “Alhamdulilah kemarin saya selamat, meski harus tertahan dan baru bisa keluar dari stadion jam 1 malam,” lirihnya.

Saat itu Alif menonton Arema FC vs Persebaya Surabaya bersama keluarganya, dari mulai ponakan yang masih kecil, kakeknya dan keluarga lainnya. “Begitu sudah bisa keluar stadion, diluar stadion kami masih harus menghadapi barikade kepolisian, tidak bisa langsung keluar dari area stadion,” tuturnya.

Menurutnya, banyak telepon dan WA yang masuk ke handphonenya dari kerabat, tetangga, dan kawan-kawannya untuk menanyakan keberadaan dan kondisinya, apakah selamat atau ikut menjadi korban hingga meninggal.

“Pas di stadion kan sinyal tidak ada, enggak tahu apa memang dibuat seperti itu. Saya baru bisa berkomunikasi dengan orang lain itu ketika sudah keluar dari area stadion. Sudah ada 40-an telepon masuk, WA juga banyak,” terangnya.

Tidak mudah bisa keluar dari area stadion, karena kondisinya serba sulit. Jalan-jalan akses keluar stadion juga macet parah, begitu sudah keluar dari area stadion pun jalan-jalan masih macet tidak bisa bergerak. “Biasanya di jalan-jalan dekat stadion ini ada polisi yang mengatur lalu lintas, tapi kemarin itu ga ada polisi satupun,” imbuhnya.

Banyak suporter yang awalnya hanya ingin berempati dengan pemain Arema karena kalah dengan Persebaya, kemudian berubah menjadi marah dan brutal lantaran tembakan gas air mata dan banyak korban meninggal diantara suporter Aremania.

Polisi beserta atributnya pun spontan jadi pelampiasan kemarahan suporter. Sehingga mobil polisi dibakar, dirusak, dan ada polisi yang meninggal. Sehingga tidak ada satupun polisi yang berjaga di sepanjang jalan-jalan menuju dan meninggalkan stadion.

“Itu rumah sakit yang paling banyak menangani korban kemarin pak,” seloroh Alif yang membuat saya semakin merasakan kepedihan atas tragedi yang sudah merenggut 132 nyawa suporter.

Rasa duka, sedih, pilu, empati, bercampur tidak karuan hingga saat perjalananku sudah semakin mendekati stadion. “Itu sebelah kanan stadioannya pak,” kata Alif sambil mulai membelokkan arah mobil masuk kawasan Stadion Kanjuruhan.

Saya pun mulai terpaku diam sambil menata hati, menata segala rasa duka, menata semua rasa kepiluhan atas tragedi yang kemudian dikenal dengan Tragedi Kanjuruhan. Segala pikir dan mata saya menarawang jauh ke para korban yang meninggal sambil semakin mendekat dan menatap patung kepala Singa, yang merupakan symbol klub Arema FC dan Aremania yakni Singo Edan, yang ada di depan Stadion Kanjuruhan.

Tumpukan kembang duka, syal suporter, dan berbagai atribut membalut patung kepala Singa semakin membuat kepedihan semakin nyata tampak didepan mata. Karangan bunga dan berbagai atribut duka yang masih terpasang di kanan kiri sekitar patung kepala Singa semakin menambah duka yang begitu mendalam.

“Ini sebagian sudah dibersihkan dan disingkirkan pak, itu sudah berapa yang ditumpuk, kemarin ini penuh semua karangan bunga dari pintu masuk depan tadi sampai dalam mau masuk stadion ini,” kata Alif.

Tidak berbasa-basi, saya langsung keluar mobil begitu sudah berada di 5 meter depan patung kepala Singa. Seperti yang sudah saya rencanakan dari Semarang, doa dan duka kupanjatkan untuk kawan-kawan saudara-saudara Aremania yang menjadi korban meninggal Tragedi Kanjuruan.

Sebagai bentuk rasa duka dan empati, saya tinggalkan kaos atau jersey PSIS era Emmanuel De Poras dengan sudah saya corat coret saat persiapan dari rumah di Puri Dinar Elok Meteseh Tembalang Semarang.

Usai berdoa, saya melanutkan ke pintu 13 atau gate 13 yang viral dan menjadi perhatian banyak orang lantaran banyak orang meninggal di pintu tersebut karena banyak yang berdesak-desakan hendak keluar saat pintu masih terkunci atau belum terbuka.

Tidak berhenti disitu, saya juga diajak ke beberapa pintu yang juga banyak korban meninggal, seperti di pintu 12, pintu 9 dan pintu 10. “Kalau di pintu 10 itu angker pak, kemarin ada pengunjung yang kesurupan pas disana,” ujarnya.

Sambil berjalan dari pintu ke pintu di Stadion Kanjuruhan yang banyak memakan korban, sesekali saya mencermati besi penanda pintu masuk yang rusak patah, angin-angin tembok yang dijebol paksa, sesekali saya juga nginceng dari lubang-lubang pintu melihat kondisi dalam stadion.

Kondisi rintik hujan saat berada di Stadion Kanjuruhan tidak mengurangi semangat dan antusiasme saya menyampaikan duka dan doa untuk kawan dan saudara-saudara Aremania. Tampak beberapa pengunjung lain ikut mengamini saat saya mengumandangkan bait-bait doa di Pintu 13 Stadion Kanjuruhan Malang.

Setelah merasa cukup melihat dan menyaksikan saksi-saksi dan sisa-sisa kepedihan Tragedi Kanjuruhan, saya pun mendokumentasikan semua yang ada disana. Setelah merasa cukup, saya bergegas meninggalkan stadion dengan kembali menyampaikan untaian-untaian doa bagi para pemangku kepentingan sepakbola, utamanya PSSI.

Tolong jangan anggap sepele Kanjuruhan, tolong jangan jadi komoditas yang berorientasi untung rugi. Ini tragedi kemanusiaan, jangan berhenti sampai pada merasa bersalah dan menyampaikan permohonan maaf.

Mereka orang-orang yang tulus ikhlas demi klub kebanggaannya. Mereka orang-orang yang tidak bersalah, mereka orang-orang yang ditembak gas air mata. Bayangkan mereka yang hanya duduk di tribun lalu ditembak gas air mata, hendak lari pun pintu tidak dibuka, berdesak-desakan, kehabisan nafas, hingga mati tidak bisa lari lagi. Ini pembantaian, ini pembunuhan, ini tragedi kemanusian.

Bukalah mata hatimu, pangkat, jabatan, dan posisi itu hanya masalah duniawi. Sementara urusan manusiawi itu sampai di hari kelak nanti. Sudah, mundur saja semua atas lembaran kelam sepakbola Indonesia ini, dan buka lembaran baru untuk sepakbola Indonesia lebih baik kedepannya.

Meruntuhkan atau merobohkan Stadion Kanjuruhan seperti yang sudah diputuskan Presiden Jokowi sebagai orang nomor satu di negara ini menjadi penanda bahwa sejarah kelam itu harus dikubur dan diakhiri. Sekaligus mengajak untuk membuat sejarah baru dengan memulai membangun kembali Stadion Kanjuruhan yang baru, yang sesuai standar FIFA untuk menjadi percontohan bagi stadion-stadion lain di Indonesia.

Semoga masih ada harapan sepakbola yang aman, nyaman, dan menyenangkan untuk masyarakat di Indonesia.

 

Kepanjen, 19 Oktober 2022

 

Yang Merasakan Duka Mendalam

Tinggalkan pesanan

email kami rahasiakan

Verified by MonsterInsights