Waspadai Intoleran, Elemen Masyarakat Harus Pahami Pancasila Secara Utuh
SOLO, ZONAPASAR.COM – Masyarakat diminta memahami Pancasila secara utuh agar memiliki sikap kebangsaan yang kuat dan cinta terhadap tanah air. Mengingat era digitalisasi seperti sekarang sikap kebangsaan masyarakat rentan luntur.
Hal itu seperti yang disampaikan oleh Prof Dr Sutoyo, guru besar Pancasila dari Universitas Slamet Riyadi Surakarta dalam Seminar Kebangsaan Memupuk Semangat Kebangsaan Guna Meredam Gerakan Anti Pancasila di Bumi NKRI di Hotel Red Chilis Solo, Rabu (21/9).
Menurutnya, nasionalisme itu persoalan klasik dan mendasar. Nasionalisme perlu diwujudkan untuk tegaknya NKRI, sehingga dibutuhkan kecintaan kepada bangsa dan negara.
“Kalau selalu dibicarakan agar sikap kebangsaan dan nasionalisme tetap ada mematri pada hati dan jiwa anak muda, pelajar sangat penting. Calon pemimpin bangsa harus paham betul kebangsaan ini. Harus paham betul,” ujarnya.
Prof Sutoyo menjelaskan ada beberapa indikasi lunturnya sikap nasionalisme atau kebangsaan di era digital.
Pertama munculnya tindakan intoleransi terorisme dan radikalisme. Intoleran, radikalisme itu sebagai wujud penyimpangan dari kecintaan terhadap bangsa ini.
Kedua merebaknya perilaku korupsi dan ketiga merajalelanya peredaran narkoba di tanah air.
“Membangun nasionalisme dan NKRI untuk menjaga tanggungjawab bersama. Pelajar ya pelajar yang baik, demo ya demo yang baik, tukang becak ya kerja dengan baik,” imbuhnya.
Menurutnya, persoalan yang masih muncul persoalan kebhinekaan, ancaman NKRI, persoalan ekonomi kesenjangan sosial, politik dan hukum.
“Rendahnya internalisasi nilai nilai Pancasila. Makanya Pancasila harus dipahami secara utuh,” tandasnya.
Dalam hal ini perlu pengamalan nilai nilai Pancasila oleh masyarakat dari sisi subyektif dan penyelenggara negara dari sisi obyektif.
Seminar kemarin diikuti oleh kalangan pelajar, mahasiswa, ormas kepemudaan, dan sejumlah elemen masyarakat seperti tukang becak di Solo dan lainnya.
Kasubdit IV Intelkam Polda Jateng AKBP Kelik Budi Antara mengatakan, seminar wawasan kebangsaan ini dilaksanakan menjelang waktu peringatan Hari Kesaktian Pancasila, tentang pentingnya pemahaman berpancasila dalam bernegara.
“Ini bukan hal yang mudah, banyak yg mempengaruhi dalam kehidupan kita yang membawa pemahaman Pancasila yang kurang tepat,” terangnya.
Maka itu, lanjutnya, pihaknya bersama sejumlah elemen masyarakat perlu memupuk lagi pemahaman Pancasila yang diyakini masyarakat Indonesia sangat komplek hingga menjadi Indonesia Raya.
Ihsan Santika Kuncoro sebagai ketua panitia mengemukakan, seminar ini diikuti oleh sekitar 100 peserta dari kalangan pelajar, mahasiswa ormas dan sejumlah elemen masyarakat di Solo.
Kegiatan ini memang bertujuan untuk memupuk rasa persatuan dan cinta terhadap rasa cinta tanah air di bumi NKRI.
Agus Riyanto Ketua Yayasan Sahabat Kita Satu Indonesia sekaligus Ketua KNPI Kota Solo menuturkan, melalui forum ini diharapkan bisa belajar dari beberapa nara sumber sebagai generasi penerus untuk memupuk rasa nasionalisme kalangan pelajar dan mahasiswa.
Dia mengutarakan, dibawah kepemimpinan Walikota Surakarta Gibran, Surakarta sekarang sudah masuk 10 besar kota intoleran, dimana Solo peringkat ke-9. “Ini apresiasi kami. Dulu belum masuk 10 besar kota toleran. Solo salah satu penentu ya penegakan hukum, tidak ada kompromi untuk intoleransi,” tuturnya.
Ia mengutarakan, problem intoleransi di masyarakat dipengaruhi beberapa faktor misal minimnya perjumpaan sosial ditingkatan masyarakat seperti forum masyarakat, lalu sikap minimnya literasi tentang pluralisme dan keberagaman sehingga antar kelompok menegasikan kelompok yang lain.
Sekretaris FKPT Jawa Tengah Ahmad Ro’uf menuturkan, agama dan Pancasila tidak bertentangan sehingga tidak perlu dipertentangkan.
Nanang Irawan eks napiter mengaku pernah menjadi bagian dari teroris lantaran belajar agama yang tidak tepat.
“Dulu saya mengaji hanya pada satu ustadz dan saya terlalu mudah percaya untuk mengikutinya. Maka itu anak-anak muda ini kalau mengaji jangan langsung percaya sama satu ustadz, kalau mengaji dicatat lalu tanyakan ke ustadz yang lain bagaimana,” terangnya.
Saat menjadi teroris, dirinya mengaku memang menjadi orang lapangan yang tugasnya mengebom tempat-tempat tertentu. “Saya belajar banyak sampai keluar negeri, bahkan sekarang dilepas ke pasar saja saya bisa beli bahan untuk bikin bom,” urainya.
Kini Nanang Irawan menyesali dulu pernah terjerumus lebih dalam menjadi teroris yang mudah mengkafirkan orang lain. “Saya sampai tahu betul ayat ayat apa yang dipakai untuk mendoktrin tindakan teror, itu lebih pada penafsiran ayat saja yang salah,” tandasnya. (alkomari)