Denyut Nadi Ekonomi Sembungan Dieng
WONOSOBO – Awan pagi itu Senin (20/3) di Desa Sembungan, Dieng, Wonosobo mulai berkumpul malu di balik bukit Sikunir. Suara burung – burung yang tengah asyik bernyayi di dahan pohon sekitar Telaga Cebong menambah riuhnya pagi yang cerah.
Di balik gubug berukuran 3 kali 2 meter, terlihat pria paruh baya yang tengah sibuk menggerakkan jari – jarinya ke dalam tanah berwarna kecoklatan. Satu persatu kentang – kentang pun mulai masuk ke dalam keranjang.
Pagi itu Suyatno, ditemani salah satu buruhnya tengah memanen kentang di lahan miliknya yang berada di dekat Telaga Cebong. Suyatno adalah satu dari sekian banyaknya petani kentang yang ada di Desa Sembungan.
Suyatno, telah bertani kentang sejak lama. Berawal dari bantu – bantu orang tua hingga akhirnya memutuskan menjadi seorang petani seutuhnya. Ia mengaku beruntung dikarunia lahan yang subur sehingga bisa memanen kentang setiap 3 hingga 4 bulan sekali.
Dari bertani kentang, Suyatno, bisa menafkahi istri dan kedua anaknya. Serta bisa mencukupi segala kebutuhan sehari – harinya.
“Kalau kebutuhan keluarga dari hasil bertani kentang. Soalnya kentang kan enggak musiman, jadi cukup buat memenuhi kebutuhan,” kata Suyatno.
Bertani kentang, lanjut Suyatno, bisa dibilang cukup mudah. Namun jika hama sudah mulai menyerang, tidak jarang membuat kentang menjadi busuk sehingga tidak bisa dipanen.
Ditambah harga yang tidak menentu menjadikan penghasilannya tidak bisa diprediksi.
“Kesulitannya lier (layu). Jadi sebelum tua pada mati, akibatnya ya kentangnya busuk,” ujarnya
Suyatno, menambahkan kini para petani kentang di Desa Sembungan sudah lebih mudah. Hal itu karena pemerintah desa setempat telah membuatkan jalan hingga ke bukit – bukit yang bisa dipakai untuk akses mengangkut kentang.
“Sekarang enak, udah ada jalan – jalannya. Dan kalau jual warga di sini juga kebanyakan di rumah saja. Sudah ada yang ambil ke sini,” ujarnya.
Lain hal dengan Suyatno, Mat Fadhil, salah satu pemilik warung, Objek wisata Puncak Sikunir yang masuk di Desa Sembungan turut menjadi berkah tersendiri bagi ia dan keluarganya.
Para pengunjung yang ramai terutama di hari – hari libur telah sedikit banyak bisa menambal segala kebutuhan, serta bisa menjadi penutup ketika sedang gagal panen.
“Rame kalau ada acara – acara, hari minggu, tahun baru sama lebaran paling ramai. Sama warga sekitar juga banyak yang beli keperluan ke sini,” terang Mat Fadhil.
Mat Fadhil menceritakan, sebelum ia membuka warung terlebih dulu ia bertani kentang bersama dengan suaminya. Namun karena kondisi lutut yang mulai sakit, menjadikannya terpaksa berhenti karena sudah tidak kuat lagi berjalan jauh.
Sejak mulai sakit, kini telah tiga tahun sudah Mat Fadhil membuka warung sederhana miliknya, yang berada 20 meter dari loket pintu masuk wisata Puncak Sikunir.
“Bapak ke sawah nanam kentang. Saya enggak ikut soalnya lutut saya kalau buat jalan jauh enggak kuat. Jadi buat nutup misalkan di ladang panennya gagal ya dari warung ini,” terangnya
Warung Mat Fadhil, sendiri dibuka dari pagi mulai pukul 07:00 WIB hingga 20:00 WIB. Jika sedang ramai, ia terkadang menambah jam buka hingga pukul 22:00 WIB.
Kentang Masih Jadi Andalan
Banyaknya pilihan wisata di Desa Sembungan, mulai dari Puncak Sikunir, Puncak Pakuwojo, Curug Sikarim, Telaga Cebong, kawasan camping ground, hingga wisata religi makam Mbah Adam Sari. Ternyata tidak menjadikannya sebagai sektor andalan.
Kepala Dusun Desa Sembungan, Irfan, mengatakan hingga saat ini mayoritas masyarakat desa ini memang masih mengandalkan sektor pertanian. Banyak warga yang bertani Kentang, Carica, Unclang, Terong Belanda dan beragam lainnya.
Irfan menambahkan, jika khusus untuk sektor wisata lebih diserahkan kepada pokdarwis yang dikelola oleh pemuda. Serta bagi warga yang memiliki tanah dengan kemiringan ekstra juga diajak menjadi pengelola wisata. Baik ditempatkan pada petugas jaga parkir, loket tiket, dan pemandu wisata.
“Kalau mayoritas pendapatan warga di sini dari bertani kentang. Kalau untuk wisata dan kerajinan untuk anak – anak pengangguran,” imbuhnya. (ZP/05)